Rabu, 22 Maret 2017

HUBUNGAN SYARIAT DAN HAKIKAT DALAM ISLAM



OLEH : MUBAROK,S.Ag

A.Pendahuluan
Dalam Kenyataan dimasyarakat telah terjadi perbedaan didalam melaksanakan amaliah Agama  :
1.Ada diantara mereka yang hanya mengamalkan Syariat tetapi tidak mengamalkan Hakikat , Misalnya Jasadnya berdiri menghadap kiblat  setiap lima waktu, tetapi dalam sholat tersebut hatinya tidak menghadap Alloh Swt.
2.Ada diantara mereka yang hanya mengamalkan Hakikat tetapi tidak mengamalkan syariat, misalnya : mereka didalam hatinya selalu eling (mengingat) Alloh, dan menyaksikan kehadiran Alloh, tetapi tubuhnya tidak Ruku’ dan sujud.
3.Ada diantara mereka yang melaksanakan Syariat dan sekaligus hakikat, Tubuh menghadap Kiblat, hato menghadap Alloh [1].

B.Pengertian Syari’at dan Hakikat.
Syariat adalah Perintah yang harus ditetapi dalam Ibadah, seperti Sholat dengan memenuhi sarat rukun.
Hakikat adalah Kesaksian akan kehadiran peran serta Ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan[2], Misalnya : Ketika ibadah sholat, dalam batin ia meyakini bahwa Alloh memperhatikanya dan bahkan ia ibadah karena semata mata atas pertolongan Alloh, bukan karena hasil dari kekuatannya sendiri.
Ustadz Abu Ali ad-Daqoq mengatakan :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ

Artinya: Hanya Engkaulah yang Kami sembah[Q.s Alfatihah : 5] adalah manifestasi dari Syariat.
Sedangkan :

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Artinya : “Dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[Q.s Alfatihah : 5]. Adalah manifestasi dari amaliah hakikat[3].

C.Hubungan Syariat dan Hakikat.
Syariat dan Hakikat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah pisahkan yang satu sama lain saling membutuhkan, melengkapi, dan menjadi tidak sempurna jika salah satunya tidak ada[4].
Syariat bisadiibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.
Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan[5].

Dalam bukun 4M dijelaskan bahwa bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Ulama Arif billah sepakat berkata, “MAN TAFAQQOHA BILAA TASHOWWUFIN FAQOD TAFASSAQO “ [Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik].  “WAMAN TASOWWAFA BILA TAFAQQUHIN FAQOD TAZANDAQO” [Siapa yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik]. “WAMAN TAJAMMA’A BAINAHUMA FAQOD TASHODDAQO” [Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], maka dialah yang benar][6].

Nabi SAW mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.
 
Ketika memulai shalat dengan “WAJJAHTU WAJ-HIYA LILLAA-DZII FATHARAS-SAMAAWAATI WAL-ARDHO HANIIFAM-MUSLIMAW- WAMAA ANA MINAL-MUSY-RIKIIN..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah.
Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.
Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”[7].

D.kesimpulan.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara kedua ilmu yaitu Syariat dan Hakikat , keduanya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu hakikat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa keduat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.
--------------------------------------------------------
[1].Pen
[2].Abul Qosim Abdul Karim Hawazin, Risalah Qusyariyah terjemah,Pustaka amani,Jakarta,2007, hal.104
[3].Ibid
[4].Pen
[5].https://sufimuda.net/2013/04/25/syariat-tarekat-hakikat-dan-makrifat-itu-satu,25 April 2013
[6].DR.KH.Haderanie HN, Ilmu Ketuhanan 4M, Nur Ilmu,Surabaya,tt,hal.31
[7]. https://sufimuda.net/2013/04/25/syariat-tarekat-hakikat-dan-makrifat-itu-satu,25 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar