OLEH :
MUBAROK,S.Ag
A.Pendahuluan
Dalam
Kenyataan dimasyarakat telah terjadi perbedaan didalam melaksanakan amaliah
Agama :
1.Ada
diantara mereka yang hanya mengamalkan Syariat tetapi tidak mengamalkan Hakikat
, Misalnya Jasadnya berdiri menghadap kiblat
setiap lima waktu, tetapi dalam sholat tersebut hatinya tidak menghadap
Alloh Swt.
2.Ada
diantara mereka yang hanya mengamalkan Hakikat tetapi tidak mengamalkan
syariat, misalnya : mereka didalam hatinya selalu eling (mengingat) Alloh, dan
menyaksikan kehadiran Alloh, tetapi tubuhnya tidak Ruku’ dan sujud.
3.Ada
diantara mereka yang melaksanakan Syariat dan sekaligus hakikat, Tubuh
menghadap Kiblat, hato menghadap Alloh [1].
B.Pengertian Syari’at dan Hakikat.
Syariat
adalah Perintah yang harus ditetapi dalam Ibadah, seperti Sholat dengan
memenuhi sarat rukun.
Hakikat
adalah Kesaksian akan kehadiran peran serta Ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan[2],
Misalnya : Ketika ibadah sholat, dalam batin ia meyakini bahwa Alloh
memperhatikanya dan bahkan ia ibadah karena semata mata atas pertolongan Alloh,
bukan karena hasil dari kekuatannya sendiri.
Ustadz Abu
Ali ad-Daqoq mengatakan :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
Artinya:
Hanya Engkaulah yang Kami sembah[Q.s
Alfatihah : 5] adalah manifestasi dari Syariat.
Sedangkan
:
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya
: “Dan hanya kepada Engkaulah Kami
meminta pertolongan[Q.s Alfatihah : 5]. Adalah manifestasi dari amaliah
hakikat[3].
C.Hubungan Syariat dan Hakikat.
Syariat
dan Hakikat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah pisahkan yang satu
sama lain saling membutuhkan, melengkapi, dan menjadi tidak sempurna jika salah
satunya tidak ada[4].
Syariat
bisadiibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat
ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak
bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan
badan agar memiliki wadah.
Saidi
Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi
Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan
hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan
tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju
juga tidak boleh dilupakan[5].
Dalam
bukun 4M dijelaskan bahwa bahwa seorang mukmin sejati
adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa
meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat
adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Ulama Arif billah sepakat
berkata, “MAN TAFAQQOHA BILAA TASHOWWUFIN FAQOD TAFASSAQO “ [Barangsiapa
bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik]. “WAMAN TASOWWAFA BILA TAFAQQUHIN FAQOD TAZANDAQO”
[Siapa yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik]. “WAMAN
TAJAMMA’A BAINAHUMA FAQOD TASHODDAQO” [Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat
dan hakikat], maka dialah yang benar][6].
Nabi SAW mengatakan,
“Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan
oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh
Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya
sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat
Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam
rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap
makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.
Ketika
memulai shalat dengan “WAJJAHTU WAJ-HIYA LILLAA-DZII FATHARAS-SAMAAWAATI
WAL-ARDHO HANIIFAM-MUSLIMAW- WAMAA ANA MINAL-MUSY-RIKIIN..” Kuhadapkan
wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan
lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik.
Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan,
menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik
menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa
sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat
wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat
maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog
yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.
Syariat tidak
mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan.
Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan
metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada
Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada
awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil
dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan
Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah.
Munculnya
perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan
terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang
terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.
Kalau
ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan
dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya
sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun
dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati
berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh
masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Ibadah
haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat,
seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik
dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana
hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di
arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian
hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah
muncul.
Disini
sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan
aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar
yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh
menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi
kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai,
menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi
ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan
sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah.
Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak
di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa
berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan
perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan
jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian
menegakkan shalat”[7].
D.kesimpulan.
Kesimpulan
dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara kedua ilmu
yaitu Syariat dan Hakikat , keduanya adalah SATU. Iman dan Islam bisa
dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat
ilmu hakikat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita
bisa memandang dengan jelas bahwa keduat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.
--------------------------------------------------------
[1].Pen
[2].Abul Qosim Abdul Karim
Hawazin, Risalah Qusyariyah terjemah,Pustaka amani,Jakarta,2007, hal.104
[3].Ibid
[4].Pen
[5].https://sufimuda.net/2013/04/25/syariat-tarekat-hakikat-dan-makrifat-itu-satu,25
April 2013
[6].DR.KH.Haderanie HN,
Ilmu Ketuhanan 4M, Nur Ilmu,Surabaya,tt,hal.31
[7]. https://sufimuda.net/2013/04/25/syariat-tarekat-hakikat-dan-makrifat-itu-satu,25
April 2013