OLEH : MUBAROK,S.Ag
Hari raya yang kita peringati/kita
rayakan setiap tanggal 10 Dzul Hijjah itu disebut Idul Adlha, Idun Nahri atau
Idul Qurban. Dikatakan demikian, karena pada hari itu kaum muslimin yang
mempunyai kemampuan/kelebihan rizki dianjurkan (disunnahkan) untuk menyembelih
ternak berupa kambing, sapi atau unta dengan niat bertaqarrub/mendekatkan diri
atau beribadah kepada Allah SWT.
Waktu penyembelihannya yaitu sejak
tanggal 10 Dzul Hijjah setelah kaum muslimin selesai melaksanakan shalat id
sampai dengan akhir hari tasyriq/tanggal 13 Dzul Hijjah, dengan ketentuan
seekor ternak berupa kambing hanya cukup untuk qurbannya seorang, sedangkan
sapi atau unta cukup untuk qurbannya tujuh orang. Dalam riwayat sahabat Jabir
bin Abdillah disebutkan :
نَحَرْنَا مَعَ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَّةِ
الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. رواه مسلم
Artinya :
“Kita para
sahabat bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah menyembelih qurban berupa
seekor unta untuk qurbannya tujuh orang dan seekor sapi juga untuk qurbannya
tujuh orang”. (HR. Muslim)
Ketentuan lain : menurut sunnah
rasul, sebaiknya ternak qurban itu di sembellih sendiri oleh orang yang
berqurban jika ia mampu, apabila tidak mampu maka dia boleh mewakilkan kepada
orang lain. Selanjutnya mengenai persyaratan untuk ternak yang disembelih, cara
menyembelih, aturan membagi-bagi dagingnya serta hikmah berqurban itu semua
sudah sangat jelas bagi kita.
Namun menurut pengamatan penulis,
warga nahdliyin yang umumnya awam itu masih perlu diberi penjelasan tentang
hukum yang terkait dengan masalah-masalah sampingan seputar pelaksanaan
penyembelihan qurban. Masalah-masalah itu antara lain :
- Menyembelih qurban untuk orang
yang telah meninggal (jawa: ngorbani wong mati);
- Mengqadla qurban;
- Daging qurban digunakan untuk
walimahan;
- Perbedaan antara qurban dan
aqiqah;
- Ternak betina untuk qurban atau
aqiqah.
1. Qurban untuk Orang yang Sudah Meninggal.
Sebagian umat muslim, ketika
menyembelih ternak qurban pada saat Idul Adlha itu ada yang berniat qurban untuk
dirinya, untuk isterinya, atau untuk anak-anaknya yang semuanya masih hidup.
Namun banyak juga dari mereka yang berniat qurban untuk sanak keluarganya yang
sudah meninggal. Untuk masalah ini, masih dipertanyakan tentang sah atau
tidaknya.
Sehubungan dengan hal tersebut agar
warga kita lebih mantap dalam melaksanakan ibadah qurbannya, perlu diberi
penjelasan bahwa memang ada ulama yang mengesahkan berqurban untuk orang yang
sudah meninggal yaitu Imam Rofi’i. Keterangan hukum demikian ini bisa kita fahami
dari keterangan kitab Qolyubi juz IV hal. 255 :
(وَلاَ تَضْحِيَةَ عَنِ الْغَيْرِ) الْحَيِّ (بِغَيْرِ إذْنِهِ)
وَبِإِذْنِهِ تَقَدَّمَ (وَلاَ عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا) وَبِإِيصَائِهِ
تَقَعُ لَهُ. (قوله وَبِإِيصَائِهِ) ... إلى أن قال: وَقَالَ الرَّافِعِيُّ:
فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ
الصَّدَقَةِ.
Artinya :
“Imam
Nawawi berpendapat bahwa tidak sah berqurban untuk orang lain yang masih hidup
tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan, tidak sah juga berqurban untuk
mayit, apabila tidak berwasiat untuk diqurbani. Sementara itu Imam Rafi’i
berpendapat boleh dan sah berqurban untuk mayit walaupun dia tidak berwasiat, karena ibadah qurban
adalah salah satu jenis shadaqah”.
2. Mengqadla Qurban.
Di sebagian
daerah kita, sewaktu ada warga muslim yang meninggal dunia dan ahli warisnya
mampu, biasanya mereka menyembelih ternak dengan niat shadaqah anil mayit. Ada
oknum kiyai atau mbah modin setempat yang memberi saran kepada ahli waris agar
ternak yang disembelih pada saat kematian keluarganya itu diniati untuk qurbannya si mayit. Dengan
alasan : ini sebagai
qurban diqadla’ padahal hari kematiannya bukan pada hari raya Idul
Adlha/hari-hari tasyriq.
Sebagaimana
disebut di awal bahwa qurban ‘anil mayit walaupun tanpa adanya wasiat adalah
sah menurut pendapat Imam Rafi’i, akan tetapi jangan terus langsung difahami
bahwa hal tersebut boleh dilakukan setiap saat, walaupun dengan niat mengqadla,
karena qurban itu salah satu ibadah yang dikaitkan dengan waktu, yakni Idul
Adlha dan hari-hari tasyriq. Sebagaimana yang di sebut dalam kitab Mustashfa
juz II hal. 9
(وَلاَ تَقِسْ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الصَّوْمِ (الْجُمْعَةَ وَلاَ
اْلأُضْحِيَّةَ) فَإِنَّهُمَا لاَيُقْضَيَانِ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِمَا.
Artinya :
“Jangan
anda mengqiyaskan/menyamakan puasa dengan shalat Jum’at dan penyembelihan
qurban, keduanya (Jum’atan dan menyembelih qurban) tidak boleh diqadla’ pada
saat-saat yang bukan waktunya”.
Dalam kitab
“ats-tsimarul yani’ah” hal. 80 juga disebutkan :
(فَمَنْ ذَبَحَ ضَحِيَّتَهُ قَبْلَ دُخُوْلِ
وَقْتِهَا) بِأَنْ لَمْ يَمْضِ مِنَ الطَّلُوْعِ أَقَلُّ مَا يُجْزِئُ مِنَ
الصَّلاَةِ وَالْخُطْبَةِ (لَمْ تَقَعْ ضَحِيَّةً، وَكَذَا مَنْ ذَبَحَهَا بَعْدَ
خُرُوْجِ وَقْتِهَا إِلاَّ إِذَا نَذَرَ ضَحِيَّةً مُعَيَّنَةً)
Artinya :
“Barang siapa menyembelih ternak
qurban, sebelum tiba waktunya yakni saat matahari sudah terbit dan setelah
pelaksanaan shalat id (dua rakaat) beserta khotbahnya, maka tidak sah
qurbannya. Demikian pula tidak sah seseorang yang menyembelih qurban setelah keluar
waktunya (10 Dzul Hijjah dan tiga hari tasyriq), kecuali karena nadzar qurban
mu’ayyan”.
3. Daging Qurban Digunakan untuk Walimahan.
Sebagaimana
yang dilakukan oleh kebanyakan umat muslim, bahwa pada hari raya Idul Adlha
mereka menyembelih ternak qurban dan di antara mereka banyak pula -pada
hari-hari itu- yang mempunyai hajat (menantu, khitan, memperingati seribu hari
wafatnya mayit dll). Maka sebagian dari mereka pada waktu menyembelih ternaknya
ada yang berniat qurban, namun dalam praktiknya daging ternak tersebut tidak
dibagi-bagikan kepada mustahiq tetapi digunakan untuk menjamu para tamu yang
mendatangi hajatan mereka pada waktu itu, atau digunakan untuk walimahan.
Apa yang
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di daerah kita tersebut hukumnya boleh,
namun tidak secara mutlak, artinya ada beberapa syarat yang harus
diperhatikannya, yaitu :
a. Qurbannya itu
qurban sunnat. Jadi qurban wajib atau qurban nadzar tidak boleh digunakan untuk
keperluan seperti itu.
b. Sebagian dagingnya
harus dibagi-bagikan kepada fakir miskin dalam keadaan mentah. Jadi tidak boleh
dimasak semuanya.
c. Jika si
penyembelih itu sebagai wakil, dia harus meminta kerelaan orang yang mewakilkan
tentang digunakannya daging qurban untuk keperluan tersebut.
Syarat-syarat
tadi secara rinci telah diterangkan dalam beberapa kitab :
(a). Kitab Bughyah hal. 258 :
يَجِبُ التَّصَدُّقُ فِي اْلأُضْحِيَةِ
الْمُتَطَوَّعِ بِهَا بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اْلاِسْمُ مِنَ اللَّحْمِ، فَلاَ
يُجْزِئُ نَحْوُ شَحْمٍ وَكَبِدٍ وَكَرْشٍ وَجِلْدٍ، وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ
فِي الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلَمِ لِمِلْكِهِ مَا يُعْطَاهُ،
بِخِلاَفِ الْغَنِيِّ فَلَيْسَ لَهُ نَحْوُ الْبَيْعِ بَلْ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي
الْمَهْدَى لَهُ بِنَحْوِ أَكْلٍ وَتَصَدُّقٍ وَضِيَافَةٍ وَلَوْ لِغَنِيٍّ،
لأَنَّ غَايَتَهُ أَنَّهُ كَالْمُضَحِّي نَفْسِهِ.
Artinya :
“Qurban
sunat wajib dishadaqahkan berupa daging, tidak cukup jika berupa lemak, hati
babat atau kulit ternak. Bagi orang fakir boleh mentasarufkan -untuk apa saja-
daging yang diberikan kepadanya walaupun untuk dijual, karena daging itu sudah
menjadi miliknya. Berbeda dengan orang kaya, dia tidak boleh menjual daging
qurban akan tetapi boleh mamakannya, menyedekahkannya dan menyuguhkannya kepada
para tamu, karena pada prinsipnya orang kaya yang menerima bagian daging qurban
itu sama dengan orang yang berqurban sendiri”.
(b). Kitab Qolyubi juz IV hal. 254 :
(وَاْلأَصَحُّ
وُجُوبُ تَصَدُّقٍ بِبَعْضِهَا) وَهُوَ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ مِنْ
اللَّحْمِ وَلاَ يَكْفِي عِنْهُ الْجِلْدُ وَيَكْفِي تَمْلِيكُهُ لِمِسْكِينٍ
وَاحِدٍ، وَيَكُونُ نِيئًا لاَ مَطْبُوخًا.
Artinya :
“Menurut
pendapat yang paling shahih, qurban itu wajib disedekahkan sebagiannya berupa
daging, tidak boleh berupa kulitnya. Sudah mencukupi walaupun diberikan
kepada seorang miskin, dan yang diberikan itu harus berupa daging mentah tidak
dimasak”.
©.
Kitab Bajuri juz I hal. 286
(قَوْلُهُ
وَتَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ مَثَلاً) أَيْ وَكَذَبْحِ أُضْحِيَةٍ وَعَقِيْقَةٍ
وَتَفْرِقَةِ كَفَّارَةٍ وَمَنْذُوْرٍ وَلاَ يَجُوْزُ لَهُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهَا
إِلاَّ إِنْ عَيَّنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ قَدْرًا مِنْهَا.
Artinya :
“Kata-kata
kiyai mushonnif : boleh mewakilkan kepada orang lain dalam hal membagi-bagi
zakat, demikian pula dalam hal menyembelih qurban dan aqiqah serta membagi-bagi
kaffarat dan nadzar. Dan bagi si wakil tidak boleh mengambil bagian sedikit pun
dari apa yang dibagikan itu kecuali jika orang yang mewakilkan menyatakan boleh
mengambil bagian tertentu dari benda tersebut”.
4. Perbedaan dan Persamaan Antara Qurban dan Aqiqah.
Walaupun dua
hal ini sudah cukup jelas hukum dan aturannya, namun masih saja kita melihat
adanya kerancuan antara keduanya di kalangan kaum muslimin khususnya yang ada
di pedesaan. Sebagian dari mereka ada yang punya pendirian kalau qurban untuk
orang yang meninggal diperbolehkan, begitu pula aqiqah untuk orang yang
meninggal seharusnya diperbolehkan juga.
Perlu
diketahui, bahwa diantara qurban dan aqiqah in di satu sisi ada banyak
persamaan, antara lain persyaratan ternak yang disembelih dan hukum
keduanya sama-sama sunnat, namun di sisi lain antara keduanya juga ada
perbedaan-perbedaan. Antara lain : tentang waktu menyembelih dan cara
membagi-bagi dagingnya. Perbedaan lain antara keduanya yaitu bahwa qurban untuk
orang yang meninggal adalah sah seperti penjelasan di atas, sedangkan aqiqah
untuk orang yang meninggal (jawa : ngaqiqohi wong mati) tidak sah, kecuali
untuk si anak yang masih kecil yang belum sempat diaqiqahi sudah meninggal,
maka dalam hal ini walinya/ayahnya masih disunnatkan mengaqiqahi anak tersebut.
Disebutkan
dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 243 :
وَقَال الرَّافِعِي
وَغَيْرُهُ: وَلاَ تَفُوْتُ بِفَوَاتِ السَّابِعِ، وَفِي الْعِدَّةِ وَالْحَاوِيْ
لِلْمَاوَرْدِيْ، أَنَّهَا بَعْدَ السَّابِعِ تَكُوْنُ قَضَاءً، وَالْمُخْتَارُ
أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا النِّفَاسُ فَإِنْ تَجَاوَزَتْهُ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ
يَتَجَاوَزَ بِهَا الرَّضَاعُ، فَإِنْ تَجَاوَزَ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ
بِهَا سَبْعُ سِنِيْنَ فَإِنْ تَجَاوَزَهَا فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ
بِهَا الْبُلُوْغُ، فَإِنْ تَجَاوَزَهُ سَقَطَتْ عَنْ غَيْرِهِ وَهُوَ
الْمُخَيَّرُ فِي الْعَقِّ عَنْ نَفْسِهِ فِي الْكِبَرِ، وَاحْتَجَّ لَهُ
الرَّافِعِي بِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ
بَعْدَ النُّبُوَّةِ، وَاحْتَجَّ غَيْرُهُ بِهِ.
Artinya :
“Imam
Rafi’i dan ulama lain berpendapat bahwa menyembelih aqiqah yang dilaksanakan
setelah hari ketujuh dari kelahiran bayi itu bukan qadla’. Sementara Imam
Mawardi mengatakan hal itu adalah sebagi aqiqah yang diqadla’. Boleh juga
ditunda sampai saat sebelum tuntasnya nifas (60 hari), boleh sampai saat
sebelum lewatnya waktu menyusui (2 tahun) boleh sampai anak belum berusia 7
tahun dan boleh juga sampai saat sebelum usia baligh. Maka kalau sudah melewati
usia baligh, wali atau orang lain sudah gugur kesunatan untuk mengaqiqahi
dirinya sendiri. Dalilnya -menurut Imam Rafi’i dan ulama lain- adalah bahwa
Nabi SAW. Mengaqiqahi pribadinya sendiri setelah beliau menjadi rasul (setelah
usia 40 tahun).
Dari keterangan tersebut, jelas bahwa tidak ada anjuran menurut syari’at
untuk mengaqiqahi orang lain yang sudah dewasa, apalagi sang anak kok
dianjurkan mengaqiqahi orang tuanya yang sudah meninggal, itu tidak ada aturan
syari’atnya.
5. Ternak Betina
untuk Qurban dan Aqiqah.
Ada satu lagi
masalah sampingan yang terkait dengan ternak untuk qurban atau aqiqah, masalah
itu sumbernya dari methos jawa tanpa adanya alasan yang jelas baik secara
syar’i (tuntunan agama) atau secara aqli (rasio), orang-orang jawa itu sangat
anti pati (jawa : sirikan) menyembelih ternak betina untuk qurban atau aqiqah,
seakan-akan hal yang demikian itu merupakan suatu amalan yang haram.
Padahal para fuqaha’ telah memberikan fatwa, bahwa boleh dan sah
menyembelih ternak betina untk qurban atau aqiqah. Mari kita simak keterangan
yang tercantum dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 236 :
وَاعْلَمْ
أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي اْلإِجْزَاءِ بَيْنَ اْلأُنْثَى وَالذَّكَرِ إِذَا وُجِدَ
السِّنُّ الْمُعْتَبَرُ، نَعَمْ الذَّكَرُ أَفْضَلُ عَلَى الرَّاجِحِ، لأَنَّهُ
أَطْيَبُ لَحْماً.
Artinya :
“Ketahuilah,
bahwa dalam kebolehan dan keabsahan qurban/aqiqah tidak ada perbedaan antara
ternak betina dan ternak jantan apabila umurnya telah mencukupi. Dalam hal ini
memang ternak jantan lebih utama dari pada ternak betina karena jantan itu
lebih lezat dagingnya”.
Berdasarkan
fatwa tersebut, kita mengerti bahwa ternak betina dan ternak jantan itu
sama-sama boleh dan sah digunakan untuk qurban atau aqiqah. Hanya saja jika
dipandang dari segi afdlaliyahnya ternak jantan lebih afdlal dari pada ternak
betina.
Bahkan dalam
suatau riwayat dinyatakan bahwa imam as-syafi’i lebih menyukai qurban dengan
hewan betina ( Kifayatul Akhyar jilid II halaman 236 ).
6. Hukum Memberi Daging Kurban kepada
Non-Muslim (2)
Ibnu Qudamah mengatakan, boleh hukumnya memberi daging kurban kepada non-Muslim.
Kebolehannya ini dinisbatkan kepada bolehnya memberikan makanan dalam bentuk lainnya kepada mereka. Memberi daging kurban kedudukannya sama dengan memberi sedekah pada umumnya yang hukumnya boleh.
Imam
al-Hasan al-Basri, Imam Abu Hanifah, dan Abu Tsaur berpendapat, daging kurban
boleh dibagikan kepada non-Muslim yang fakir miskin. Sedangkan Imam Malik
berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya, termasuk memakruhkan bila
memberi kulit dan bagian-bagian dari hewan kurban kepada mereka.Ibnu Qudamah mengatakan, boleh hukumnya memberi daging kurban kepada non-Muslim.
Kebolehannya ini dinisbatkan kepada bolehnya memberikan makanan dalam bentuk lainnya kepada mereka. Memberi daging kurban kedudukannya sama dengan memberi sedekah pada umumnya yang hukumnya boleh.
Al-Laits berpendapat jika daging itu dimasak kemudian non-Muslim dari kalangan ahlu zimmi diajak makan bersama, maka hukumnya boleh.
Imam Nawawi berpendapat umumnya ulama membedakan antara hukum kurban sunah dengan kurban wajib. Kurban wajib di antaranya adalah kurban nazar. Jika daging kurban berasal dari kurban sunah seperti saat Idul Adha karena ada kemampuan, maka boleh daging kurban dibagikan kepada Non-Muslim. Sementara jika kurbannya termasuk wajib maka memberikannya kepada non-Muslim dilarang.
Ustaz Ahmad Sarwat berpendapat, yang paling kuat adalah kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim. Terlebih kondisi mereka kekurangan. Hikmahnya adalah dengan kebaikan yang diberikan ada nilai positif kepada umat Islam.
Dengan itu siapa tahu menjadi jalan hidayah bagi non-Muslim. Dalam ahkamul fukaha disebutkan ada beberapa pendapat tentang hal ini.
Kitab kumpulan putusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama ini menyebut diperbolehkannya memberikan daging kurban kepada non-Muslim zimmi. Namun, syaratnya daging kurban itu dari kurban sunah bukan yang wajib.
Al-Adza’i menilai, pendapat itu tidak kuat. Mutlak hukumnya tidak memberikan bagian apa pun dari kurban kepada selain Muslim. Bahkan, jika seorang fakir miskin Muslim menerima daging kurban, ia tetap tidak boleh memberikan daging tersebut kepada non-Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar