Selasa, 20 September 2016

BAHAYA RIYA DAN CARA PENGOBATANYA



OLEH : MUBAROK,S.Ag
                                                  
A.Pengertian riya

menurut  Lughot  Riya’ (Ar-riyaa-u) berasal dari kata Ro-a, yang Artinya menampakkan atau memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia.
Sedangkan  menurut istilah, Para Ulama memberi definisi yang berbeda tapi maknanya sama yaitu:
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Kitab-Nya Fathul Baari Berkata :
"Riya' ialah menampakkan ibadah dengan maksud dan tujuan dilihat manusia. Lalu mereka memuji pelaku amalan itu".

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumudin berkata :Riya' ialah  “Mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan”.
Imam Habib Abdullah Haddad berpendapat bahwa Riya' ialah : “Menuntut kedudukan atau meminta dihormati dari pada orang ramai dengan amalan yang ditujukan untuk akhirat”.
Dengan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Riya' ialah :
“Melakukan amal kebaikan bukan karena niat beribadah kepada Allah SWT. Melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal Kebaikan-Nya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan Kepada-Nya”.

B.Pembagian Riya.
Riya terbagi dalam dua tingkatan, yaitu :
1. Riya Kholis yaitu : Melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia
2. Riya' Syirik yaitu : Melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah SWT, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia. Kedua-Nya bercampur menjadi satu, itulah Riya' Syirik.

Riya' bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan.
Perbuatan Riya bila dilihat dari segi amal yang ditonjolkan menurut Imam Al-Ghazali dapat terbagi 5 kategori, yaitu  :
1. Riya dalam masalah agama dengan penampilan jasmani. Misalnya, memperlihatkan badan yang kurus dan pucat agar disangka banyak melakukan ibadah puasa dan ibadah shalat tahajud.
2. Riya dalam penampilan tubuh dan pakaian. Misalnya memakai baju koko agar disangka shaleh atau memperlihatkan tanda hitam di dahi agar disangka rajin dalam melakukan ibadah sholat.
3. Riya dalam perkataan. Misalnya orang yang selalu bicara tentang keagamaan agar disangka ahli agama.
4. Riya dalam perbuatan. Misalnya orang yang sengaja memperbanyak ibadah shalat sunnah di hadapan orang banyak agar disangka orang sholeh. Atau seseorang yang pergi naik haji/umroh untuk memperbaiki Citranya didepan masyarakat.
5. Riya dalam persahabatan. Misalnya orang yang sengaja mengikuti ustadz ke manapun beliau (ustadz) itu pergi agar ia disangka termasuk orang alim.


C.BAHAYA RIYA’
1.Dianggap berbuat syirik
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ
Artinya : “Sesungguhnya yang paling ditakutkan dari apa yang saya takutkan menimpa kalian adalah asy syirkul ashghar (syirik kecil), maka para shahabat bertanya, apa yang dimaksud dengan asy syirkul ashghar? Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ar Riya’.” (HR. Ahmad )
2.Menghapus pahala.
Sifat riya akan menghapus paha ibadah yang sudah kita kerjakan selama bertahun tahun, sesuai dengan firman Allah Swt :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir [Albaqoroh : 264].
3.Celaka diakhirat
Sifat riya akan membuat pemiliknya bernasip celaka diakhirat, sesuai dengan firman Alloh Swt
 
Artinya : “Wail (Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … ” (Al Maa’uun: 4-7)

4.Dicampakkan  oleh Alloh.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan mencampurkan kesyirikan bersama-Ku, niscaya Aku tinggalkan dia dan amal kesyirikannya itu”.

Dalam hadits lain, Allah swt  benar-benar akan mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar. Sebagaimana hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang pertama kali dihisab di hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang yang mati di medan jihad, kedua; pembaca Al Qur’an, dan yang ketiga; seseorang yang suka berinfaq. Jenis golongan manusia ini Allah subhanahu wata’ala campakkan dalam An Naar karena mereka beramal bukan karena Allah subhanahu wata’ala namun sekedar mencari popularitas. (HR. Muslim )

Perlu diketahui, bahwa riya’ yang dapat membatalkan sebuah amalan adalah bila riya’ itu menjadi asal (dasar) suatu niatan. Bila riya’ itu muncul secara tiba-tiba tanpa disangka dan tidak terus menerus, maka hal ini tidak membatalkan sebuah amalan.

D.CARA MENGOBATI PENYAKIT RIYA
Di antara cara untuk mencegah dan mengobati perbuatan riya’ adalah:
1. Mengetahui dan memahami keagungan Allah subhanahu wata’ala, yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
Ketahuilah, Allah subhanahu wata’ala adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun yang tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh manusia sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala?
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):”Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali Imran: 29)
2. Selalu mengingat akan kematian (Dzikrul Maut)
Ketahuilah, bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Ketika seseorang selalu mengingat kematian maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan. Ia merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara ajal siap menjemputnya tanpa minta izin  terlebih dahulu. Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).
3. Banyak berdo’a dan merasa takut dari perbuatan riya’.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita do’a yang dapat menjauhkan kita dari perbuatan syirik besar dan syirik kecil. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia takutlah akan Syirik ini, sesungguhnya ia lebih tersamar dari pada semut. Maka berkata padanya: “Bagaimana kami merasa takut dengannya sementara ia lebih tersamar daripada semut? Maka berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :” Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ إناَّ نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ, وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُه
Artinya : “Ya, Allah! Sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami memohon ampunan kepada-Mu dari dosa (syirik) yang kami tidak mengetahuinya”.
4. Terus memperbanyak mengerjakan amalan shalih.
Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih, baik dalam keadaan sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah dibenarkan seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut riya’. Dan Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih. Bila riya’ itu muncul maka segeralah ditepis dan jangan dibiarkan terus menerus karena itu adalah bisikan setan.
Apa yang kita amalkan ini belum seberapa dibandingkan amalan, ibadah, ilmu dan perjuangan para shahabat dan para ulama’. Lalu apa yang akan kita banggakan? Ibadah dan ilmu kita amatlah jauh dan jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu dan ibadah mereka.

Berusaha untuk tidak menceritakan kebaikan yang kita amalkan kepada orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Seperti, bila orang berpuasa yang bertamu, kemudian dijamu. Boleh baginya mengatakan bahwa ia dalam keadaan berpuasa. (Lihat HR. Al Imam Muslim dari sahabat Zuhair bin Harb no. 1150)
Namun boleh pula baginya berbuka (membatalkan puasa selama bukan puasa yang wajib) untuk menghormati jamuan tuan rumah.

5.Sadari bahwa amal kita adalah karunia Alloh semata.
Sadari dengan sungguh sungguh, bahwa kita ini pada hakikatnya tidak bisa beramal apa apa, kita beramal semata mata karena mendapat pertolongan dari Alloh swt. Seandainya kita tidak ditolongnya niscaya kita tak akan dapat beramal walau hanya sebesar atom. “Tiada daya dan tiada upaya melainkan jika mendapat pertolongan alloh”. Jika kita tidak berdaya, lalu apakah yang akan kita banggakan ? dan apa yang akan kita riyakan ?.....

BEBERAPA PERKARA YANG BUKAN TERMASUK RIYA’
1. Seseorang yang beramal dengan ikhlas, namun mendapatkan pujian dari manusia tanpa ia kehendaki.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar, bahwa ada seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal (secara ikhlas) dengan amal kebaikan yang kemudian manusia memujinya?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin”.
2. Seseorang yang memperindah penampilan karena keindahan Islam.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidaklah masuk Al Jannah seseorang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (setitik) dari kesombongan.” Berkata seseorang: “(Bagaimana jika) seseorang menyukai untuk memperindah pakaian dan sandal yang ia kenakan? Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.
3. Beramal karena memberikan teladan bagi orang lain.
Hal ini sering dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Seperti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam shalat diatas mimbar bertujuan supaya para shahabat bisa mencontohnya. Demikian pula seorang pendidik, hendaknya dia memberikan dan menampakkan suri tauladan atau figur yang baik agar dapat diteladani oleh anak didiknya. Ini bukanlah bagian dari riya’, bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الإِْسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
Artinya :“Barangsiapa yang memberikan teladan yang baik dalam Islam, kemudian ada yang mengamalkannya, maka dicatat baginya kebaikan seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun dari kebaikannya.” (HR. Muslim no. 1017)
4. Bukan termasuk riya’ pula bila ia semangat beramal ketika berada ditengah orang-orang yang lagi semangat beramal. Karena ia merasa terpacu dan terdorong untuk beramal shalih. Namun hendaknya orang ini selalu mewaspadai niat dalam hatinya dan berusaha untuk selalu semangat beramal meskipun tidak ada orang yang mendorongnya.
Semoga risalah ini mendorong kita untuk memperbanyak ibadah dan selalu waspada dari bahaya perbuatan riya’. Amin ya Rabbal ‘alamin.


Kamis, 08 September 2016

HUKUM QURBAN DALAM ISLAM


OLEH : MUBAROK,S.Ag

Hari raya yang kita peringati/kita rayakan setiap tanggal 10 Dzul Hijjah itu disebut Idul Adlha, Idun Nahri atau Idul Qurban. Dikatakan demikian, karena pada hari itu kaum muslimin yang mempunyai kemampuan/kelebihan rizki dianjurkan (disunnahkan) untuk menyembelih ternak berupa kambing, sapi atau unta dengan niat bertaqarrub/mendekatkan diri atau beribadah kepada Allah SWT.
Waktu penyembelihannya yaitu sejak tanggal 10 Dzul Hijjah setelah kaum muslimin selesai melaksanakan shalat id sampai dengan akhir hari tasyriq/tanggal 13 Dzul Hijjah, dengan ketentuan seekor ternak berupa kambing hanya cukup untuk qurbannya seorang, sedangkan sapi atau unta cukup untuk qurbannya tujuh orang. Dalam riwayat sahabat Jabir bin Abdillah disebutkan :
نَحَرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَّةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ. رواه مسلم
Artinya :
“Kita para sahabat bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah menyembelih qurban berupa seekor unta untuk qurbannya tujuh orang dan seekor sapi juga untuk qurbannya tujuh orang”. (HR. Muslim)
Ketentuan lain : menurut sunnah rasul, sebaiknya ternak qurban itu di sembellih sendiri oleh orang yang berqurban jika ia mampu, apabila tidak mampu maka dia boleh mewakilkan kepada orang lain. Selanjutnya mengenai persyaratan untuk ternak yang disembelih, cara menyembelih, aturan membagi-bagi dagingnya serta hikmah berqurban itu semua sudah sangat jelas bagi kita.
Namun menurut pengamatan penulis, warga nahdliyin yang umumnya awam itu masih perlu diberi penjelasan tentang hukum yang terkait dengan masalah-masalah sampingan seputar pelaksanaan penyembelihan qurban. Masalah-masalah itu antara lain :
     -       Menyembelih qurban untuk orang yang telah meninggal (jawa: ngorbani wong mati);
     -       Mengqadla qurban;
     -       Daging qurban digunakan untuk walimahan;
     -       Perbedaan antara qurban dan aqiqah;
     -       Ternak betina untuk qurban atau aqiqah.

     1.     Qurban untuk Orang yang Sudah Meninggal.
Sebagian umat muslim, ketika menyembelih ternak qurban pada saat Idul Adlha itu ada yang berniat qurban untuk dirinya, untuk isterinya, atau untuk anak-anaknya yang semuanya masih hidup. Namun banyak juga dari mereka yang berniat qurban untuk sanak keluarganya yang sudah meninggal. Untuk masalah ini, masih dipertanyakan tentang sah atau tidaknya.
Sehubungan dengan hal tersebut agar warga kita lebih mantap dalam melaksanakan ibadah qurbannya, perlu diberi penjelasan bahwa memang ada ulama yang mengesahkan berqurban untuk orang yang sudah meninggal yaitu Imam Rofi’i. Keterangan hukum demikian ini bisa kita fahami dari keterangan kitab Qolyubi juz IV hal. 255 :                                                                        
(وَلاَ تَضْحِيَةَ عَنِ الْغَيْرِ) الْحَيِّ (بِغَيْرِ إذْنِهِ) وَبِإِذْنِهِ تَقَدَّمَ (وَلاَ عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا) وَبِإِيصَائِهِ تَقَعُ لَهُ. (قوله وَبِإِيصَائِهِ) ... إلى أن قال: وَقَالَ الرَّافِعِيُّ: فَيَنْبَغِي أَنْ يَقَعَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُوصِ لأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ.
Artinya :
“Imam Nawawi berpendapat bahwa tidak sah berqurban untuk orang lain yang masih hidup tanpa mendapat izin dari yang bersangkutan, tidak sah juga berqurban untuk mayit, apabila tidak berwasiat untuk diqurbani. Sementara itu Imam Rafi’i berpendapat boleh dan sah berqurban untuk mayit walaupun dia tidak berwasiat, karena ibadah qurban adalah salah satu jenis shadaqah”.
2.    Mengqadla Qurban.
Di sebagian daerah kita, sewaktu ada warga muslim yang meninggal dunia dan ahli warisnya mampu, biasanya mereka menyembelih ternak dengan niat shadaqah anil mayit. Ada oknum kiyai atau mbah modin setempat yang memberi saran kepada ahli waris agar ternak yang disembelih pada saat kematian keluarganya itu diniati untuk qurbannya si mayit. Dengan alasan : ini sebagai qurban diqadla’ padahal hari kematiannya bukan pada hari raya Idul Adlha/hari-hari tasyriq.
Sebagaimana disebut di awal bahwa qurban ‘anil mayit walaupun tanpa adanya wasiat adalah sah menurut pendapat Imam Rafi’i, akan tetapi jangan terus langsung difahami bahwa hal tersebut boleh dilakukan setiap saat, walaupun dengan niat mengqadla, karena qurban itu salah satu ibadah yang dikaitkan dengan waktu, yakni Idul Adlha dan hari-hari tasyriq. Sebagaimana yang di sebut dalam kitab Mustashfa juz II hal. 9
(وَلاَ تَقِسْ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الصَّوْمِ (الْجُمْعَةَ وَلاَ اْلأُضْحِيَّةَ) فَإِنَّهُمَا لاَيُقْضَيَانِ فِيْ غَيْرِ وَقْتِهِمَا.
Artinya :
“Jangan anda mengqiyaskan/menyamakan puasa dengan shalat Jum’at dan penyembelihan qurban, keduanya (Jum’atan dan menyembelih qurban) tidak boleh diqadla’ pada saat-saat yang bukan waktunya”.
Dalam kitab “ats-tsimarul yani’ah” hal. 80 juga disebutkan :
(فَمَنْ ذَبَحَ ضَحِيَّتَهُ قَبْلَ دُخُوْلِ وَقْتِهَا) بِأَنْ لَمْ يَمْضِ مِنَ الطَّلُوْعِ أَقَلُّ مَا يُجْزِئُ مِنَ الصَّلاَةِ وَالْخُطْبَةِ (لَمْ تَقَعْ ضَحِيَّةً، وَكَذَا مَنْ ذَبَحَهَا بَعْدَ خُرُوْجِ وَقْتِهَا إِلاَّ إِذَا نَذَرَ ضَحِيَّةً مُعَيَّنَةً)

Artinya :
“Barang siapa menyembelih ternak qurban, sebelum tiba waktunya yakni saat matahari sudah terbit dan setelah pelaksanaan shalat id (dua rakaat) beserta khotbahnya, maka tidak sah qurbannya. Demikian pula tidak sah seseorang yang menyembelih qurban setelah keluar waktunya (10 Dzul Hijjah dan tiga hari tasyriq), kecuali karena nadzar qurban mu’ayyan”.

     3.    Daging Qurban Digunakan untuk Walimahan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan umat muslim, bahwa pada hari raya Idul Adlha mereka menyembelih ternak qurban dan di antara mereka banyak pula -pada hari-hari itu- yang mempunyai hajat (menantu, khitan, memperingati seribu hari wafatnya mayit dll). Maka sebagian dari mereka pada waktu menyembelih ternaknya ada yang berniat qurban, namun dalam praktiknya daging ternak tersebut tidak dibagi-bagikan kepada mustahiq tetapi digunakan untuk menjamu para tamu yang mendatangi hajatan mereka pada waktu itu, atau digunakan untuk walimahan.
Apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di daerah kita tersebut hukumnya boleh, namun tidak secara mutlak, artinya ada beberapa syarat yang harus diperhatikannya, yaitu :
     a.    Qurbannya itu qurban sunnat. Jadi qurban wajib atau qurban nadzar tidak boleh digunakan untuk keperluan seperti itu.
     b.    Sebagian dagingnya harus dibagi-bagikan kepada fakir miskin dalam keadaan mentah. Jadi tidak boleh dimasak semuanya.
     c.    Jika si penyembelih itu sebagai wakil, dia harus meminta kerelaan orang yang mewakilkan tentang digunakannya daging qurban untuk keperluan tersebut.

Syarat-syarat tadi secara rinci telah diterangkan dalam beberapa kitab :
     (a).    Kitab Bughyah hal. 258 :
يَجِبُ التَّصَدُّقُ فِي اْلأُضْحِيَةِ الْمُتَطَوَّعِ بِهَا بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ اْلاِسْمُ مِنَ اللَّحْمِ، فَلاَ يُجْزِئُ نَحْوُ شَحْمٍ وَكَبِدٍ وَكَرْشٍ وَجِلْدٍ، وَلِلْفَقِيْرِ التَّصَرُّفُ فِي الْمَأْخُوْذِ وَلَوْ بِنَحْوِ بَيْعِ الْمُسْلَمِ لِمِلْكِهِ مَا يُعْطَاهُ، بِخِلاَفِ الْغَنِيِّ فَلَيْسَ لَهُ نَحْوُ الْبَيْعِ بَلْ لَهُ التَّصَرُّفُ فِي الْمَهْدَى لَهُ بِنَحْوِ أَكْلٍ وَتَصَدُّقٍ وَضِيَافَةٍ وَلَوْ لِغَنِيٍّ، لأَنَّ غَايَتَهُ أَنَّهُ كَالْمُضَحِّي نَفْسِهِ.
Artinya :
“Qurban sunat wajib dishadaqahkan berupa daging, tidak cukup jika berupa lemak, hati babat atau kulit ternak. Bagi orang fakir boleh mentasarufkan -untuk apa saja- daging yang diberikan kepadanya walaupun untuk dijual, karena daging itu sudah menjadi miliknya. Berbeda dengan orang kaya, dia tidak boleh menjual daging qurban akan tetapi boleh mamakannya, menyedekahkannya dan menyuguhkannya kepada para tamu, karena pada prinsipnya orang kaya yang menerima bagian daging qurban itu sama dengan orang yang berqurban sendiri”.
     (b).    Kitab Qolyubi juz IV hal. 254 :
(وَاْلأَصَحُّ وُجُوبُ تَصَدُّقٍ بِبَعْضِهَا) وَهُوَ مَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ مِنْ اللَّحْمِ وَلاَ يَكْفِي عِنْهُ الْجِلْدُ وَيَكْفِي تَمْلِيكُهُ لِمِسْكِينٍ وَاحِدٍ، وَيَكُونُ نِيئًا لاَ مَطْبُوخًا.
Artinya :
“Menurut pendapat yang paling shahih, qurban itu wajib disedekahkan sebagiannya berupa daging, tidak boleh berupa kulitnya. Sudah mencukupi walaupun  diberikan kepada seorang miskin, dan yang diberikan itu harus berupa daging mentah tidak dimasak”.
     ©.    Kitab Bajuri juz I hal. 286
(قَوْلُهُ وَتَفْرِقَةُ الزَّكَاةِ مَثَلاً) أَيْ وَكَذَبْحِ أُضْحِيَةٍ وَعَقِيْقَةٍ وَتَفْرِقَةِ كَفَّارَةٍ وَمَنْذُوْرٍ وَلاَ يَجُوْزُ لَهُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهَا إِلاَّ إِنْ عَيَّنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ قَدْرًا مِنْهَا.
Artinya :
“Kata-kata kiyai mushonnif : boleh mewakilkan kepada orang lain dalam hal membagi-bagi zakat, demikian pula dalam hal menyembelih qurban dan aqiqah serta membagi-bagi kaffarat dan nadzar. Dan bagi si wakil tidak boleh mengambil bagian sedikit pun dari apa yang dibagikan itu kecuali jika orang yang mewakilkan menyatakan boleh mengambil bagian tertentu dari benda tersebut”.

     4.    Perbedaan dan Persamaan Antara Qurban dan Aqiqah.
Walaupun dua hal ini sudah cukup jelas hukum dan aturannya, namun masih saja kita melihat adanya kerancuan antara keduanya di kalangan kaum muslimin khususnya yang ada di pedesaan. Sebagian dari mereka ada yang punya pendirian kalau qurban untuk orang yang meninggal diperbolehkan, begitu pula aqiqah untuk orang yang meninggal seharusnya diperbolehkan juga.
Perlu diketahui, bahwa diantara qurban dan aqiqah in di satu sisi ada banyak persamaan, antara lain persyaratan ternak yang disembelih  dan hukum keduanya sama-sama sunnat, namun di sisi lain antara keduanya juga ada perbedaan-perbedaan. Antara lain : tentang waktu menyembelih dan cara membagi-bagi dagingnya. Perbedaan lain antara keduanya yaitu bahwa qurban untuk orang yang meninggal adalah sah seperti penjelasan di atas, sedangkan aqiqah untuk orang yang meninggal (jawa : ngaqiqohi wong mati) tidak sah, kecuali untuk si anak yang masih kecil yang belum sempat diaqiqahi sudah meninggal, maka dalam hal ini walinya/ayahnya masih disunnatkan mengaqiqahi anak tersebut.
Disebutkan dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 243 :
وَقَال الرَّافِعِي وَغَيْرُهُ: وَلاَ تَفُوْتُ بِفَوَاتِ السَّابِعِ، وَفِي الْعِدَّةِ وَالْحَاوِيْ لِلْمَاوَرْدِيْ، أَنَّهَا بَعْدَ السَّابِعِ تَكُوْنُ قَضَاءً، وَالْمُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا النِّفَاسُ فَإِنْ تَجَاوَزَتْهُ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا الرَّضَاعُ، فَإِنْ تَجَاوَزَ فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا سَبْعُ سِنِيْنَ فَإِنْ تَجَاوَزَهَا فَيُخْتَارُ أَنْ لاَ يَتَجَاوَزَ بِهَا الْبُلُوْغُ، فَإِنْ تَجَاوَزَهُ سَقَطَتْ عَنْ غَيْرِهِ وَهُوَ الْمُخَيَّرُ فِي الْعَقِّ عَنْ نَفْسِهِ فِي الْكِبَرِ، وَاحْتَجَّ لَهُ الرَّافِعِي بِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ، وَاحْتَجَّ غَيْرُهُ بِهِ.

Artinya :
“Imam Rafi’i dan ulama lain berpendapat bahwa menyembelih aqiqah yang dilaksanakan setelah hari ketujuh dari kelahiran bayi itu bukan qadla’. Sementara Imam Mawardi mengatakan hal itu adalah sebagi aqiqah yang diqadla’. Boleh juga ditunda sampai saat sebelum tuntasnya nifas (60 hari), boleh sampai saat sebelum lewatnya waktu menyusui (2 tahun) boleh sampai anak belum berusia 7 tahun dan boleh juga sampai saat sebelum usia baligh. Maka kalau sudah melewati usia baligh, wali atau orang lain sudah gugur kesunatan untuk mengaqiqahi dirinya sendiri. Dalilnya -menurut Imam Rafi’i dan ulama lain- adalah bahwa Nabi SAW. Mengaqiqahi pribadinya sendiri setelah beliau menjadi rasul (setelah usia 40 tahun).
Dari keterangan tersebut, jelas bahwa tidak ada anjuran menurut syari’at untuk mengaqiqahi orang lain yang sudah dewasa, apalagi sang anak kok dianjurkan mengaqiqahi orang tuanya yang sudah meninggal, itu tidak ada aturan syari’atnya.

     5.    Ternak Betina untuk Qurban dan Aqiqah.
Ada satu lagi masalah sampingan yang terkait dengan ternak untuk qurban atau aqiqah, masalah itu sumbernya dari methos jawa tanpa adanya alasan yang jelas baik secara syar’i (tuntunan agama) atau secara aqli (rasio), orang-orang jawa itu sangat anti pati (jawa : sirikan) menyembelih ternak betina untuk qurban atau aqiqah, seakan-akan hal yang demikian itu merupakan suatu amalan yang haram.
Padahal para fuqaha’ telah memberikan fatwa, bahwa boleh dan sah menyembelih ternak betina untk qurban atau aqiqah. Mari kita simak keterangan yang tercantum dalam kitab Kifayatul Akhyar juz II hal. 236 :
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي اْلإِجْزَاءِ بَيْنَ اْلأُنْثَى وَالذَّكَرِ إِذَا وُجِدَ السِّنُّ الْمُعْتَبَرُ، نَعَمْ الذَّكَرُ أَفْضَلُ عَلَى الرَّاجِحِ، لأَنَّهُ أَطْيَبُ لَحْماً.
Artinya :
“Ketahuilah, bahwa dalam kebolehan dan keabsahan qurban/aqiqah tidak ada perbedaan antara ternak betina dan ternak jantan apabila umurnya telah mencukupi. Dalam hal ini memang ternak jantan lebih utama dari pada ternak betina karena jantan itu lebih lezat dagingnya”.
Berdasarkan fatwa tersebut, kita mengerti bahwa ternak betina dan ternak jantan itu sama-sama boleh dan sah digunakan untuk qurban atau aqiqah. Hanya saja jika dipandang dari segi afdlaliyahnya ternak jantan lebih afdlal dari pada ternak betina.
Bahkan dalam suatau riwayat dinyatakan bahwa imam as-syafi’i lebih menyukai qurban dengan hewan betina ( Kifayatul Akhyar jilid II halaman 236 ).
6. Hukum Memberi Daging Kurban kepada Non-Muslim (2)
Ibnu Qudamah mengatakan, boleh hukumnya memberi daging kurban kepada non-Muslim.

Kebolehannya ini dinisbatkan kepada bolehnya memberikan makanan dalam bentuk lainnya kepada mereka. Memberi daging kurban kedudukannya sama dengan memberi sedekah pada umumnya yang hukumnya boleh.
Imam al-Hasan al-Basri, Imam Abu Hanifah, dan Abu Tsaur berpendapat, daging kurban boleh dibagikan kepada non-Muslim yang fakir miskin. Sedangkan Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya, termasuk memakruhkan bila memberi kulit dan bagian-bagian dari hewan kurban kepada mereka.

Al-Laits berpendapat jika daging itu dimasak kemudian non-Muslim dari kalangan ahlu zimmi diajak makan bersama, maka hukumnya boleh.

Imam Nawawi berpendapat umumnya ulama membedakan antara hukum kurban sunah dengan kurban wajib. Kurban wajib di antaranya adalah kurban nazar. Jika daging kurban berasal dari kurban sunah seperti saat Idul Adha karena ada kemampuan, maka boleh daging kurban dibagikan kepada Non-Muslim. Sementara jika kurbannya termasuk wajib maka memberikannya kepada non-Muslim dilarang.

Ustaz Ahmad Sarwat berpendapat, yang paling kuat adalah kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim. Terlebih kondisi mereka kekurangan. Hikmahnya adalah dengan kebaikan yang diberikan ada nilai positif kepada umat Islam.

Dengan itu siapa tahu menjadi jalan hidayah bagi non-Muslim. Dalam ahkamul fukaha disebutkan ada beberapa pendapat tentang hal ini.

Kitab kumpulan putusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama ini menyebut diperbolehkannya memberikan daging kurban kepada non-Muslim zimmi. Namun, syaratnya daging kurban itu dari kurban sunah bukan yang wajib.

Al-Adza’i menilai, pendapat itu tidak kuat. Mutlak hukumnya tidak memberikan bagian apa pun dari kurban kepada selain Muslim. Bahkan, jika seorang fakir miskin Muslim menerima daging kurban, ia tetap tidak
boleh memberikan daging tersebut kepada non-Muslim.