OLEH : MUBAROK,S.Ag
A.Pengertian riya
menurut Lughot
Riya’ (Ar-riyaa-u) berasal dari kata Ro-a, yang Artinya menampakkan
atau memperlihatkan suatu amal kebaikan kepada sesama manusia.
Sedangkan menurut istilah, Para Ulama memberi definisi yang berbeda tapi maknanya sama yaitu:
Al-Hafidz
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Kitab-Nya Fathul Baari Berkata :Sedangkan menurut istilah, Para Ulama memberi definisi yang berbeda tapi maknanya sama yaitu:
"Riya' ialah menampakkan ibadah dengan maksud dan tujuan dilihat manusia. Lalu mereka memuji pelaku amalan itu".
Imam
Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumudin berkata :Riya' ialah “Mencari
kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal
kebaikan”.
Imam Habib
Abdullah Haddad berpendapat bahwa Riya' ialah : “Menuntut kedudukan atau meminta dihormati dari pada orang ramai dengan
amalan yang ditujukan untuk akhirat”.Dengan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Riya' ialah :
“Melakukan amal kebaikan bukan karena niat beribadah kepada Allah SWT. Melainkan demi manusia dengan cara memperlihatkan amal Kebaikan-Nya kepada orang lain supaya mendapat pujian atau penghargaan, dengan harapan agar orang lain memberikan penghormatan Kepada-Nya”.
B.Pembagian Riya.
Riya terbagi dalam dua tingkatan, yaitu :
1. Riya Kholis yaitu : Melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan pujian dari manusia
2. Riya' Syirik yaitu : Melakukan perbuatan karena niat menjalankan perintah Allah SWT, dan juga karena untuk mendapatkan pujian dari manusia. Kedua-Nya bercampur menjadi satu, itulah Riya' Syirik.
Riya' bisa muncul didalam diri seseorang pada saat setelah atau sebelum suatu ibadah selesai dilakukan.
Perbuatan Riya bila dilihat dari segi amal yang ditonjolkan menurut Imam Al-Ghazali dapat terbagi 5 kategori, yaitu :
1. Riya dalam masalah agama dengan penampilan jasmani. Misalnya, memperlihatkan badan yang kurus dan pucat agar disangka banyak melakukan ibadah puasa dan ibadah shalat tahajud.
2. Riya dalam penampilan tubuh dan pakaian. Misalnya memakai baju koko agar disangka shaleh atau memperlihatkan tanda hitam di dahi agar disangka rajin dalam melakukan ibadah sholat.
3. Riya dalam perkataan. Misalnya orang yang selalu bicara tentang keagamaan agar disangka ahli agama.
4. Riya dalam perbuatan. Misalnya orang yang sengaja memperbanyak ibadah shalat sunnah di hadapan orang banyak agar disangka orang sholeh. Atau seseorang yang pergi naik haji/umroh untuk memperbaiki Citranya didepan masyarakat.
5. Riya dalam persahabatan. Misalnya orang yang sengaja mengikuti ustadz ke manapun beliau (ustadz) itu pergi agar ia disangka termasuk orang alim.
C.BAHAYA RIYA’
1.Dianggap berbuat syirik
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ
الأَصْغَرُ قَالَ الرِّيَاءُ
|
2.Menghapus pahala.
Sifat riya akan menghapus paha ibadah yang sudah kita kerjakan selama bertahun tahun, sesuai dengan firman Allah Swt :
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia
tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir [Albaqoroh : 264].
3.Celaka diakhirat
Sifat riya
akan membuat pemiliknya bernasip celaka diakhirat, sesuai dengan firman Alloh
Swt
Artinya : “Wail
(Kecelakaanlah) bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari
shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya’, … ” (Al Maa’uun: 4-7)
4.Dicampakkan oleh Alloh.
Diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Saw bersabda: “Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
|
Artinya : “Barangsiapa
yang mengerjakan suatu amalan dengan mencampurkan kesyirikan bersama-Ku,
niscaya Aku tinggalkan dia dan amal kesyirikannya itu”.
Dalam
hadits lain, Allah swt benar-benar akan
mencampakkan pelaku perbuatan riya’ ke dalam An Naar. Sebagaimana hadits Abu
Hurairah yang diriwayatkan Al Imam Muslim, bahwa yang pertama kali dihisab di
hari kiamat tiga golongan manusia: pertama; seseorang yang mati di medan jihad,
kedua; pembaca Al Qur’an, dan yang ketiga; seseorang yang suka berinfaq. Jenis
golongan manusia ini Allah subhanahu wata’ala campakkan dalam An Naar karena
mereka beramal bukan karena Allah subhanahu wata’ala namun sekedar mencari
popularitas. (HR. Muslim )
Perlu diketahui, bahwa riya’ yang dapat membatalkan sebuah amalan adalah bila riya’ itu menjadi asal (dasar) suatu niatan. Bila riya’ itu muncul secara tiba-tiba tanpa disangka dan tidak terus menerus, maka hal ini tidak membatalkan sebuah amalan.
D.CARA MENGOBATI PENYAKIT RIYA
Di antara cara untuk mencegah dan mengobati perbuatan riya’ adalah:
1. Mengetahui dan memahami keagungan Allah subhanahu wata’ala, yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang tinggi dan sempurna.
Ketahuilah, Allah subhanahu wata’ala adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat serta Maha Mengetahui apa-apa yang nampak ataupun yang tersembunyi. Maka akankah kita merasa diperhatikan dan diawasi oleh manusia sementara kita tidak merasa diawasi oleh Allah subhanahu wata’ala?
Bukankah Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):”Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya”, …” (Ali Imran: 29)
2. Selalu mengingat akan kematian (Dzikrul Maut)
Ketahuilah, bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian. Ketika seseorang selalu mengingat kematian maka ia akan berusaha mengikhlaskan setiap ibadah yang ia kerjakan. Ia merasa khawatir ketika ia berbuat riya’ sementara ajal siap menjemputnya tanpa minta izin terlebih dahulu. Sehingga ia khawatir meninggalkan dunia bukan dalam keadaan husnul khatimah (baik akhirnya) tapi su’ul khatimah (jelek akhirnya).
3. Banyak berdo’a dan merasa takut dari perbuatan riya’.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita do’a yang dapat menjauhkan kita dari perbuatan syirik besar dan syirik kecil. Diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad dan At Thabrani dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia takutlah akan Syirik ini, sesungguhnya ia lebih tersamar dari pada semut. Maka berkata padanya: “Bagaimana kami merasa takut dengannya sementara ia lebih tersamar daripada semut? Maka berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :” Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إناَّ
نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ, وَ نَسْتَغْفِرُكَ
لِمَا لاَ نَعْلَمُه
|
4. Terus memperbanyak mengerjakan amalan shalih.
Berusahalah terus memperbanyak amalan shalih, baik dalam keadaan sendirian atau pun dihadapan orang lain. Karena tidaklah dibenarkan seseorang meninggalkan suatu amalan yang mulia karena takut riya’. Dan Islam menganjurkan umat untuk berlomba-lomba memperbanyak amalan shalih. Bila riya’ itu muncul maka segeralah ditepis dan jangan dibiarkan terus menerus karena itu adalah bisikan setan.
Apa yang kita amalkan ini belum seberapa dibandingkan amalan, ibadah, ilmu dan perjuangan para shahabat dan para ulama’. Lalu apa yang akan kita banggakan? Ibadah dan ilmu kita amatlah jauh dan jauh sekali bila dibandingkan dengan ilmu dan ibadah mereka.
Berusaha untuk tidak menceritakan kebaikan yang kita amalkan kepada orang lain, kecuali dalam keadaan darurat. Seperti, bila orang berpuasa yang bertamu, kemudian dijamu. Boleh baginya mengatakan bahwa ia dalam keadaan berpuasa. (Lihat HR. Al Imam Muslim dari sahabat Zuhair bin Harb no. 1150)
Namun boleh pula baginya berbuka (membatalkan puasa selama bukan puasa yang wajib) untuk menghormati jamuan tuan rumah.
5.Sadari bahwa amal kita adalah
karunia Alloh semata.
Sadari
dengan sungguh sungguh, bahwa kita ini pada hakikatnya tidak bisa beramal apa
apa, kita beramal semata mata karena mendapat pertolongan dari Alloh swt.
Seandainya kita tidak ditolongnya niscaya kita tak akan dapat beramal walau
hanya sebesar atom. “Tiada daya dan tiada upaya melainkan jika mendapat
pertolongan alloh”. Jika kita tidak berdaya, lalu apakah yang akan kita
banggakan ? dan apa yang akan kita riyakan ?.....
BEBERAPA PERKARA YANG BUKAN TERMASUK RIYA’
1. Seseorang yang beramal dengan ikhlas, namun mendapatkan pujian dari manusia tanpa ia kehendaki.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Abu Dzar, bahwa ada seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal (secara ikhlas) dengan amal kebaikan yang kemudian manusia memujinya?” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin”.
2. Seseorang yang memperindah penampilan karena keindahan Islam.
Diriwayatkan oleh Al Imam Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Tidaklah masuk Al Jannah seseorang yang di dalam hatinya ada seberat dzarrah (setitik) dari kesombongan.” Berkata seseorang: “(Bagaimana jika) seseorang menyukai untuk memperindah pakaian dan sandal yang ia kenakan? Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala itu indah dan menyukai keindahan, kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.
3. Beramal karena memberikan teladan bagi orang lain.
Hal ini sering dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Seperti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam shalat diatas mimbar bertujuan supaya para shahabat bisa mencontohnya. Demikian pula seorang pendidik, hendaknya dia memberikan dan menampakkan suri tauladan atau figur yang baik agar dapat diteladani oleh anak didiknya. Ini bukanlah bagian dari riya’, bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي
الإِْسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
|
4. Bukan termasuk riya’ pula bila ia semangat beramal ketika berada ditengah orang-orang yang lagi semangat beramal. Karena ia merasa terpacu dan terdorong untuk beramal shalih. Namun hendaknya orang ini selalu mewaspadai niat dalam hatinya dan berusaha untuk selalu semangat beramal meskipun tidak ada orang yang mendorongnya.
Semoga risalah ini mendorong kita untuk memperbanyak ibadah dan selalu waspada dari bahaya perbuatan riya’. Amin ya Rabbal ‘alamin.